Pengalaman Menjadi Mahasiswa Asing Dengan Disabilitas
Nama saya Nefertiti Karismaida, keluarga saya memanggil saya “Inef”. Saya berasal dari Jakarta dan sekarang sedang menempuh jenjang pendidikan sarjana di Amerika Serikat, tepatnya di University of North Carolina, Asheville. Saya akan lulus pada bulan Mei tahun 2018. Saya mengambil jurusan International Studies dan juga mempelajari Ilmu Lingkungan Hidup serta Ilmu Politik. Sebelumnya saya sempat menerima beasiswa satu tahun di Hiram College, Ohio, untuk mendalami Sastra Inggris. Berikut ini adalah cerita saya mengenai bagaimana saya bertahan dan beradaptasi sebagai mahasiswa asing dengan disabilitas sembari tetap aktif di berbagai organisasi sosial di kampus seperti Intercultural/Multicultural Center, Center for Diversity Education (pusat budaya dan keberagaman tradisi), Center for Academic Accessibility, dan Student Environmental Center. Di samping itu, saya juga bekerja paruh waktu.
Saya didiagnosa dengan gangguan pendengaran sensorineural tingkat berat (kanan: 100 dB, kiri: 95 dB) sewaktu saya berumur tujuh tahun (sekarang usia saya dua puluh satu tahun), dicurigai penyebabnya berkaitan dengan kerusakan syaraf telinga akibat antibiotik dosis tinggi yang saya konsumsi untuk mengobati penyakit bronchitis yang saya derita saat berusia dua tahun. Diagnosa di atas dibarengi dengan kesimpulan dari dokter THT bahwa saya masih memiliki sisa pendengaran untuk frekuensi rendah (artinya saya masih dapat berkomunikasi dengan lancar untuk percakapan sehari-hari), namun akan mengalami masalah dengan pemahaman jika harus mendengarkan konsonan di frekuensi tinggi (seperti huruf s, t, h, dan z). Saat itu, saya terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi, sebab saya tidak merasa berbeda dengan anak lain di sekolah dasar swasta. Orang tua saya membelikan ABD Siemens, namun saat saya berumur 9 tahun saya merasa ABD tersebut kurang bermanfaat, maka saya beralih ke ABD Phonak.
Saat usia saya 12 tahun, orang tua saya memindahkan saya ke sekolah bilingual agar perkembangan bahasa saya dapat bertambah baik. Saya dibelikan system FM, semacam radio personal yang dapat saya berikan ke guru kelas sehingga suara yang tertangkap dapat langsung diolah menjadi gelombang listrik dan sinyal suara dapat terkirim ke prosesor yang saya pakai. Murid di sekolah menengah saya tidak tahu banyak tentang penggunaan FM, maka saya harus menjelaskan ke mereka bagaimana cara kerja FM. Saya sering dipandang aneh, namun saya tidak peduli dan tetap belajar seperti biasa karena saya tahu saya juga punya hak untuk menjadi orang yang pintar dan berguna bagi masyarakat. Usaha saya terjawab ketika orang tua saya diundang untuk evaluasi bulanan dan para guru mengatakan saya murid yang rajin dan pandai. Perlahan-lahan, saya pun memperluas pergaulan dan tidak lagi tersingkirkan.
Saat usia saya 14 tahun, ABD lama yang sudah tidak lagi memadai diganti dengan ABD merk Phonak. Namun demikian, saya masih merasa ada yang mengganjal. Menjelang ulang tahun saya yang ke lima belas, saya dan orang tua diundang menghadiri seminar tentang Cochlear Implant. Saya berdiskusi dengan orang tua dan mereka mengabulkan permintaan saya untuk menjalani operasi pemasangan CI merk Harmony (120 channels) dari perusahaan Adavanced Bionics. Operasi dilaksanakan di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Setelah operasi, kerja keras saya tidak selesai begitu saja. Sebagai bagian dari penanganan pasca aktivasi CI, saya harus mengikuti Auditory Verbal Therapy dan Speech Therapy, keduanya merupakan program rehabilitasi yang didesain untuk mengingatkan kembali otak saya pada suara-suara di sekitar saya. Untuk mempermudah perjuangan saya, orang tua saya mendaftarkan saya untuk kursus musik, tepatnya piano klasik. Hingga kini saya masih suka bermain piano. Omong-omong, orang tua saya baru bisa membelikan saya CI untuk satu telinga (telinga kanan), sementara telinga kiri saya dipasangi ABD Naida Q70 yang berukuran kecil namun berkekuatan besar.
Usia saya 18 tahun saat saya memutuskan untuk kuliah di luar negeri. Saya menghadapi banyak tentangan, namun saya bersyukur karena universitas yang menerima saya mempunyai akomodasi yang bagus untuk mahasiswa dengan keterbatasan fisik dan/atau mental. Para dosen dan teman seangkatan tidak pernah sekali pun meremehkan saya, mereka selalu siap menjawab pertanyaan saya, meminjamkan saya catatan, dan menerangkan materi jika saya menemui kesulitan atau bingung.
Saya berkenalan dengan dua orang mahasiswa Amerika yang juga memakai CI. Salah satu dari mereka memilih untuk menggunakan American Sign Language/ASL (Bahasa Isyarat Amerika) untuk berkomunikasi, walau dia bisa berbicara tanpa hambatan. Saya menghargai pilihannya dan dia memberitahu saya bahwa di dunia ini ada yang namanya “ableism”, yaitu sebuah situasi di mana seseorang dapat menjadi “ableist” atau mempercayai bahwa mereka yang mempunyai disabilitas pasti hidup sengsara dan tidak mampu mandiri. Menurutnya, sikap semacam itu sangat merendahkan kaum disabilitas yang terpojokkan dan terpinggirkan. Dia mengatakan bahwa dia tengah mengkampanyekan kesetaraan untuk semua orang yang tergabung dalam komunitas disabilitas agar mereka tidak lagi terinjak-injak dan disepelekan. Saya mendukung gerakan tersebut karena saya setuju bahwa mereka yang hidup dengan disabilitas bukanlah sosok yang perlu dikasihani atau patut dianggap sebelah mata, mereka harus dirangkul dan diperlakukan tanpa diskriminasi.
Sekian kisah saya, semoga bermanfaat.
Comments
Menurut saya, cerita ini sangat menginspirasi dan menyemangati ttg penggunaan CI atau penggunanya.
Semua bisa JADI!
Dari cerita kakak, ada hal sederhana yang ingin saya tanyakan.
Apakah saat kakak menempuh pendidikan di luar negeri kakak tinggal scra mandiri/sendiri (tanpa keluarga)?
Seseorang dengan HL maupun tidak, sering kali kesulitan bangun pagi jika tidak dibangunkan orang lain atau alarm.
Bagaimana cara kakak bangun pagi? Apakah sll dibangunkan? Ataukah kakak sedari kecil sudah membangun jam biologis sendiri sehingga tidak terlalu bergantung pada alarm? Bagaimana caranya?
Mohon jawabannya
Tq
Inef @nkarisma, seneng banget bisa liat Inef gabung disini... Sudah masuk spring ya, btw goodluck sama kerjaan baru ya..
Ditunggu sharing selanjutnya!
cheers
@Sarasati , saya tinggal di USA tanpa keluarga. Ibu, Ayah, dan dua adik saya yang masih SMA di Indonesia semua. Saya menyewa apartemen campuran yang cukup murah untuk ukuran standard kota di sana dan ada tiga kamar pribadi (plus toilet, dapur sederhana, mesin cuci dan mesin pengering pakaian) dan tinggal bareng pacar serta dua orang teman sekampus (satu cowok, satu cewek).
Sejak kecil saya terbiasa bangun pagi. Saya membiarkan jendela kamar tidak diberi kain gorden atau tirai, sehingga matahari pagi bisa masuk dan menembus secara alami. Saya memasang alarm nada dering di handphone dengan frekuensi rendah dan volume cukup kencang. Bagun tidur saya langsung minum air mineral dan cuci muka agar tidak mengantuk. Juga, saya selalu tidur sebelum jam 11 malam, jam 10 malam paling lambat, apalagi kalau ada kuliah jam 8 pagi dan saya harus bangun jam 7 pagi agar tidak terlambat berangkat ke kampus (saya naik bus, tapi terkadang jalan kaki juga karena dari apartemen ke kampus sangat dekat jaraknya, 10 menit juga sampai).
@AsriR Iya, Mbak Restu. Sudah musim semi di Amerika, banyak bunga bertebaran di kampus. Banyak tupai dan burung juga karena cuaca semakin hangat dan mahasiswa pun bisa piknik.
Tq
Senang sekali bisa kenalan...
Saya mamanya bryan dari bali. Sekarang bryan umurnya 10 th dan sdh ci. Saya sangat terinspirasi dengan cerita inef yang luar biasa. Utk menjadi seperti sekarang pastilah melalui proses yang sangat panjang dan tidak mudah ya....
Boleh tante tahu siapa yang menjadikan inef seperti sekarang ini? Atau apa saja yg dilakukannya sehingga inef bs sehebat skrg? Tks. Maaf tante kepo ya he..he..
Pertama, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Mereka selalu ingin saya tidak mudah menyerah dan jika saya sedih orang tua pasti lebih sedih.
Kedua, para guru di sekolah umum. Mereka sangat sabar mendidik saya, terutama guru Bahasa Indonesia yang tidak bosan memberi saya bahan bacaan bermutu sehingga kualitas pengetahuan dan wawasan sastra saya bertambah.
Ketiga, para professor di Hiram College dan UNC Asheville yang tidak pernah menganggap kelainan saya sebagai beban.
Untuk menjawab pertanyaan "Apa yang sudah kamu lakukan sampai bisa seperti ini?"
Pertama, saya senang membaca majalah berita dan koran supaya selalu tahu apa yang tengah hangat diperbincangkan. Ini penting, supaya saya tidak terkucil atau dijauhi orang akibat tidak nyambung kalau ngobrol atau debat.
Kedua, dengan kondisi pendengaran yang kurang sempurna, saya harus bisa mencari sumber pengetahuan di luar kelas. Saya selalu pergi ke perpustakaan untuk mencari buku penunjang, akan lebih baik lagi bila saya bisa membawa cuplikan jurnal ilmiah ke rumah untuk dirangkum dan dianalisis. Itu adalah sebuah rutinitas wajib jika saya ingin mengejar ketertinggalan.
Ketiga, belajar masak! Saya serius. Orang yang merantau harus punya beberapa resep andalan, misalnya tumis sayur atau sup kentang. Memasak di apartemen (jarang ke kafe) dapat menghemat uang yang diperlukan untuk membeli pensil, pulpen, buku tulis, kertas, dll.
Nomor empat, jangan pernah mencoret suatu daftar kemungkinan sampai ada informasi yang memadai tentang kemungkinan tersebut. Jika ada peluang datang, entah itu beasiswa atau pekerjaan, gali dan selidiki lebih dalam tentangnya. Jika sudah yakin, baru melamar dan mempersiapkan diri.
Nomor lima, jangan sungkan dan jangan sungkan untuk bergabung dengan kelompok yang punya cara berpikir unik. Jika saya bersikeras untuk tidak mau menjadi bagian dari suatu team/group yang tidak sejalan dengan prinsip saya, maka saya tidak akan bisa mengerti pola pemahaman banyak orang yang nantinya bisa menjadi rekan atau kolega. Menjalin network/jaringan hubungan itu suatu kebutuhan buat saya.
Itu saja sih untuk sekarang.
luar biasa inef, tante sangat kagum dan salut atas semua perjuangan inef. Dan hasilnya inef petik sekarang. anaknya tante yaitu Bryan juga sangat gemar membaca. Semoga dia bisa seperti inef. salam buat orang tua inef yang luar biasa dan hebat.
semangat terus untuk mencapai impian.....
semoga Tuhan sll menyertai....
makasih ya inef sudah mau berbagi dikisah mendengar ini, menjadikan insfirasi buat kami untuk mendidik putra putri kami belajar hidup mandiri,
keren loh berani jauh dari orangtua saya aja belum tentu berani tinggal di negeri orang sendiri :-D
Tinggal di luar negeri tidak menyeramkan, kok. Saat pertama kali menjejakkan kaki di USA, saya belajar membaca denah peta dan memahami route kendaraan umum dan juga mencatat biaya transportasi publik (biasanya digratiskan atau dapat potongan harga jika menjukkan kartu mahasiswa). Dengan demikian, saya tidak pernah tersesat, kalau pun kurang tahu soaldaerah/kawasan baru yang belum pernah saya kunjungi, saya datang ke kantor polisi terdekat dan bertanya tentang petunjuk arah.
have a great long weekend dan salam utk Cody
U are so inspiring..
Semoga anak kami juga bisa mencapai pendidikan tinggi seperti inef..
Terima kasih sharing nya
Terimakasih sudah mau berbagi pengalaman disini. Sesuatu yang sangat jauh dari bayangan kami, akhirnya mulai nampak jelas. Semoga anak kami juga bisa mencapai pendidikan tinggi dikemudian hari.
Salam Ayuni